Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan menggantikan Khalifah IV,Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan, "Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Ia memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah,
"Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu" (HR Bukhari).
Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh banyak pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar.Tentu saja, pandangan tersebut tida diterima oleh kebanyakan ulama.
Ada yang demikian menggebu menolaknya sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan la qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah sendiri menegaskan,
"Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).
Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya sendiri-sendiri.Namun demikian, pandangan ini juga disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah. Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah
"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QS Al-Shaffat [37]: 96).
Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
"Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecuali dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).
Demikian sedikit dari banyak perdebatan yang tak kunjung habis di antara para teolog. Masing-masing menjadikan Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.
- Takdir dalam Bahasa Al-Quran.
Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju. Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat Al-A'la (Sabihisma),
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan (semua mahluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3).
Karena itu ditegaskannya bahwa:
"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan atasnya,
"Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).
"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).
Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir. Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut contoh, yakni rerumputan.
"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS.Sabihisma [87]: 4-53)
- Apakah Takdir Merupakan Rukun Iman?
Dalam QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan:
"Wahai orang-orang yang beriman, (tetaplah) percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kitab yang disusunkan sebelum (Al-Quran). Barangsiapa yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudiam, maka sesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya."
Bahwa ayat di atas tidak menyebutkan perkara takdir, bukan berarti bahwa takdir tidak wajib dipercayai. Tidak! Yang ingin dikemukakan ialah bahwa Al-Quran tidak menyebutnya sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengan kelima perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas. Karena itu, agaknya dapat dimengerti ketika sementara ulama tidak menjadikan takdir sebagai salah satu rukun iman, bahkan dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebut tiga hal pokok, yaitu keimanan kepada Allah, malaikat, dan hari kemudian. Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepada malaikat mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan
(wahyu Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabi dan Rasul.
Bahkan jika kita memperhatikan beberapa hadis Nabi, seringkali beliau hanya menyebut dua perkara, yaitu percaya kepada Allah dan hari kemudian.
"Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menghormati tamunya. Siapa yangpercaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menyambung tali kerabatnya. Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia berkata benar atau diam."
Al-Quran juga tidak jarang hanya menyebut dua di antara hal-hal yang wajib dipercayai. Perhatikan misalnya surat Al-Baqarah (2): 62,
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih."
Ayat ini tidak berarti bahwa yang dituntut dari semua kelompok yang disebut di atas hanyalah iman kepada Allah dan hari kemudian, tetapi bersama keduanya adalah iman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir. Bahkan ayat tersebut dan semacamnya hanya menyebut dua hal pokok, tetapi tetap menuntut keimanan menyangkut segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah Saw., baik dalam enam perkara yang disebut oleh hadis Jibril di atas, maupun perkara lainnya yang tidak disebutkan.
Demikianlah pengertian takdir dalam bahasa dan penggunaan Al-Quran.
Source : Wawasan Alquran Dr. M. Quraish Shibab
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon